CLOCKS

BERSATULAH BANGSAKU, HINDARI PERPECAHAN !

MARI KITA TINGKATKAN PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

SELAMAT DATANG DI BLOG INI di blog ini

KEIMANAN SEORANG SERING TURUN DAN NAIK, BAGAIMANA CARANYA MENINGKATKAN KEIMANAN ITU?

Minggu, 24 Agustus 2014

Persatuan Islam (PERSIS) Panduan Hidup Berjama'ah Dalam Jam'iyyah PERSIS Jam’iyyah Islamiyah di Dunia Modern. Di era modern sekarang ini, jam’iyyah yang berciri Islam semakin banyak, baik yang berhubungan dengan politik, keagamaan, ekonomi, maupun dengan lingkungan. Jam’iyyah atau organisasi itu ada yang besar dan ada yang kecil, ada yang berdasar agama dan ada yang berdasarkan ideologi tertentu, sehingga setiap gerakan hampir tidak pernah ada yang kosong dari ideologi tertentu, keyakinan, atau visi tertentu. Di Indonesia, sejak jaman penjajahan banyak organisasi yang berkaitan dengan cita-cita kemerdekaan seperti pada Jong Sumatera, Jong Java, Budi Utomo, dan lain-lain. Ada juga organisasi-organisasi yang berkaitan dengan pendidikan dan dakwah, seperti al-Irsyad, Muhammadiah, Persis, PUI, NU dan lain-lain. Ormas kepemudaan relatif lebih banyak, terutama yang berafiliasi pada partai politik. Organisasi atau jam’iyyah dalam bentuk partai politik juga cukup banyak, termasuk partai-partai Islam. Negara pada dasarnya adalah bentuk organisasi atau jam’iyyah politik dengan berbagai perangkatnya apapun bentuk negara tersebut. Dalam lingkup pendidikan, ada tuntutan untuk membuat organisasi, manajemen, dan struktur yang baik, misalnya dalam bentuk lembaga pendidikan atau dalam bentuk yayasan. Semuanya itu adalah bentuk-bentuk jam’iyyah di era modern sekarang ini. Oleh karena itu, jam’iyyah dalam bentuk apapun bukan hanya merupakan fitrah manusia, tetapi juga sudah merupakan kebutuhan.

Minggu, 25 Mei 2014

PERSPEKTIF KONSERVATIF-TRADISIONAL DAN LIBERAL SEKULER

TEORI ISLAM TENTANG DAULAH (NEGARA) : PERSPEKTIF KONSERVATIF-TRADISIONAL DAN LIBERAL-SEKULER Oleh : Anjar Nugroho S.Ag MSi I. PERPSEKTIF KONSERVATIF-TRADISIONAL a. Pengertian Daulah Kata daulah dalam Ensiklopedi Islam Islam berasal kata dasar dari dala-yadulu –daulah, yang artinya bergilir, beredar, dan berputar. Secara istilah arti teoritisnya adalah kelompok sosial yang mentap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Daulah dapat diartikan negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti. Dalam Al Qur;an terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya dengan arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surah Ali Imran (3) ayat 140 yang artinya :”… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan diantara kamu …” dan surat al-Hasyr/59 : 7 : “… Dan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya …”. Jimly Asshiddiqie, ahli hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat pertama terkandung muatan yang berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih berkonotasi ekonomi. Kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada masa pra-Islam, karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Adapun istilah kesukuan “al-banti” terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah kata daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti. Kata daulah juga bisa diberikan kepada penduduk dan anggota daulah. Pada akhir abad ke-10 H, al-Husein, anak dari Wazir al-Qasim (al-Qasim bin al-Dajl) mendapat gelar wali al-daulah (pelindung negara). Pada tahun 330 M/42 H, dari keluarga Hamdani (Bani Hamdani yang ada di Jazirah), Hasan bin Hamdan dan Ali bin Hamdan, keduanya penguasa di Mosul dan Suriah, diberi gelar Saif al-Daulah (pedang negara). Pemberian gelar ini menunjukkan bahwa khalifah memberikan gelar penghormatan kepada pendukungnya. Gelar daulah ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (945 H/1086 M) di Spanyol, Gaznawi (Dinasti Turki yang menguasai Asia Tengah dan beberapa wilayah di Asia Selatan dengan pusat pemerintahan di Gazna tahun 1008-1186 M), dan juga digunakan oleh Malik Tawaif (1011-1086) di Spanyol. Fatimiah (Dinasti Syiah di Arrika Utara tahun 297-567 H/909-1171 M) kadang-kadang juga memberikan gelar daulah kepada pejabat istana mereka. Al-Kindi, filosof pertama Islam keturunan Arab (185-256 H/810-869 M),mengartikan daulah dengan al-mulk (kerajaan). Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi, seorang dokter pada masa Islam klasik (251-313 H/865-925 M), mengartikan daulah dengan suksesi. b. Dasar Hukum Terbentuknya Daulah Para pakar politik Islam klasik menjadikan dasar hukum pembentukan daulah dalam arti pemerintahan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Hama Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. al-Nisa’:58) dan “Hai Orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar berian kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. al-Nisa : 59) Para pakar politik Islam klasik (konservatif-trdisional) menjadikan kedua ayat ini sebagai landasan terbentuknya daulah, karena kedua ayat itu mengandung unsur-unsur yang dapat mewujudkan atau merealisasikan sasarn atau tujuan yang diinginkan terbentuknya suatu daulah. Munawir Sjadzali, ahli fiqih siyasi Indonesia, berpendapat bahwa kedua ayat itu mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Ia berpendapat bahwa ayat di atas menjelaskan bagaimana proses hubungan yang komunikatif dan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dalam rangka mencapai tujuan yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Rais (pemimpin), sebagai pemegang amanah, dan mar’us (yang dipimpin) merupakan komponen yang harus ada dalam pemerintahan suatu daulah. Pemimpin dan perangkatnya yang ada dalam suatu daulah merupakan motor penggerak dan pelaksana jalannya roda pemerintahan. Adapun mar’us harus mematuhi dan melaksanakan sistem dan aturan yang telah digariskan atau diprogramkan oleh rais. Ayat pertama ditujukan kepada pengausa, agar bertindak adil. Ayat kedua ditujukan kepada warga sipil, agar mematuhi Allah, Rasulullah, dan ulil amri (penguasa). Keharusan adanya pemimpin berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW :”Jika tiga orang bepergian, hendaklan mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud) Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kemashlahatan dan keadilan tidak bias ditegakkan tanpa adanya penguasa yang berwenang menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW. Hukum tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung rakyat yang memenuhi hukum. Harus ada kerjasama antara penguasa dan rakyat.Kemashlahatan bisa berjalan dengan baik apabila telah terbentuk daulah. c. Rukun Daulah Menurut Imam al-Mawardi, rukun daulah adalah adanya rakyat, wilayah dan pemerintahan. 1) Rakyat merupakan salah satu yang esensial begi terwujudnya daulah. Rakyat merupakan gabungan individu yang berdomisili di wilayah daulah.Tidak semua yang menetap di wilayah daulah dianggap sebagai warga. Daulah Islam membedakan antara orang Islam dengan kaum Dzimmi (kaum non Muslim yang menetap dan mendapat perlindungan di darul Islam). Kaum dzimmi yang bermukim di daerah Muslim diharuskan membayar jizyah (pajak yang dipungut dari rakyat nonmuslim dalam negara Islam), yang dengannya mereka terjamin memperoleh perlindungan dari negara (Q.S. 9:29). Pajak tersebut juga merupakan pembenaran perlindungan perlindungan nyawa dan harta mereka. Setelah itu baik daulah Islam maupun masyarakat Muslim tidak berhak melanggar harta, kehormatan maupun kemerdekaan mereka. Mereka mendapatkan perlindungan dalam kemashlahatan umum, seperti perdagangan dan industri. Kaum Dzimmi terikat dengan hukum pidana yang sama dengan warga muslim. Demikian juga dengan hukum perdata, harta kekayaan apapun bentuknya dan alat perdagangannya yang dilarang bagi muslim juga terlarang bagi kaum dzimmi. Misalnya, riba terlarang bagi kaum muslim juga bagi kaum dzimmi. Dalam hukum keluarga (perkawinan, perceraian, danm warisan)mereka diperbolehkan memberlakukan hukum agama mereka, seperti pernikahan tanpa saksi, tanpa penetapan mahar, dan sebagainya. Mereka juga diberi kebebasan dalam mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan agama mereka. Menurut Imam al-Mawardi, penguasa boleh menugaskan kaum dzimmi dalam lembaga eksekutif. Mereka tidak wajib berperang apabila peperangan itu dimaksudka untuk membela Islam. Adapun warga Muslim yang telah memenuhi kriteria tertentu, misalnya baligh, berakal, dan merdeka, mempunyai hak politik, hak memilih dan dipilih, dan wajib ikut berperang membela Islam dalam peperangan. 2)Wilayah. Yang dimaksud wilayah di sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara. Untuk mewujudkan daulah, sekelompok orang harus menetap pada suartu wilayah tertentu. Suku-suku yang sellau berpindah tempat tidak mempunyai wilayah sendiri, tidak dianggap sebagai daulah. Sistem Islam membedakan antara darul Islam (daerah yang berada di wilayah kekuasaan Islam) dan darul harbi (wilayah yang berada dalam kekuasaan kaum kafir). Di Samping itu terdapat darul Ahad (darul aman), yaitu suatu wilayah yang ditaklukkan oleh kaum muslimin tetapi tidak dikuasai secara teritorial. Penaklukan wilayah ini dilakukan secara damai dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam. Hanya saja antara darul Islam dan mereka tidak diikat dalah suatu perjanjian damai. 3)Pemerintahan. Pemerintah merupakan unsur utama dalam pembentukan daulah. Ia berkuasa menjalankan urusan daulah, mengurus organisasinya dan menangani urusan rakyatnya. Dalama perkembangan sejarah Islam, para ahli politik Islam sepakat menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah emndirikan daulah Islam pertama Madinah di tahun pertama hijriyah (622 M). Dengan terbentuknya komunitas muslim di Madinah, maka Rasulullah sekaligus sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara. Pengukuhan kekuasaan dinyatakan dalah konstitusi tertulis yang dikenal sebagai Piagam Madinah. Dengan piagam ini Rasul mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang atau damai, menyelesaikan konflik antar warga masyarakat, dan menentukan kebijakan menyangkut masalah ekonomi, politik dan lain-lain. Setelah Nabi Muhammad wafat, kekuasaan dan bentuk daulah mengalami perkembangan. Julukan kepada kepala daulah mengalami perubahan, seperti dari khalifah menjadi sulthan dan amir. d. Syarat Daulah Menurut Mahmud Hilmi, Guru Besar filsafat dan politik Islam di Universitas al-Azhar (Mesir) dalam bukunya Nizam al-Hukm al-Islami, menyatakan syarat daulah adalah ; 1) mempunyai pengairan yang memadai, 2) tersedia barang-barang kebutuhan pokok, 3) tempatnya strategis dan udaranya bagus, 4) dekat dari daerah pemukiman, dan 5) wilayahnya terpelihara dari gangguan musuh dan pengacau hingga rakyat merasa terlindungi. Selanjutnya ia menyatakan, apabila daulah telah berdiri, maka harus dipenuhi beberapa faktior berikut : 1) pemerintah harus menyediakan air bersih dan memberi kemudahan kepada rakyat untuk memperolehnya, 2) mendirikan tempat shalat di dekat pemukiman, 3) mendirikan pasar yang memungkinkan penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, 4) membentengi daerah agar aman dari serbuan musuh, 5) mendatangkan para ilmuwan dan para ahli yang sesuai dengan kebutuhan penduduk sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. e. Fungsi Daulah Menurut Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hanbali (338-458 H; ahli fiqih madzab Hanbali) dan Imam al-Mawardi, menyatakan ada beberapa fungsi daulah, diantaranya sebagai berikut : Memberi perlindungan dan keamanan, serta mempertahankan diri dari serangan musuh. Tugas yudikatif mencakup penegakkan hukum dan keadilan, sehingga orang dhalim tidak bertindak sewenang-wenang dan orang yang teraniaya tidak bertambah lemah, dan menegakkan hudud, agar larangan Allah SWT dapat dilindungi dari pelanggaran sehingga hak dan kemashlahatan rakyat terpelihara. Tugas keuangan, di antaranya menarik pajak dan sedekah yang diwajibkan syara’, sehinga menurut nash maupun ijtihad dengan tidak memaksa. II. PERSPEKTIF LIBERAL-SEKULARISTIK (ALI ABD AL-RAZIQ) Untuk kepentingan diskusi ini, dieksplorasi sedikit pemikiran intelektual muslim yang dikenal sebagai eksponen perspektif sekularistik tentang negara/kekuasaan. Dalam hal ini adalah Ali Abd. Raziq, intelektual dan aktifis politik Muslim yang dikenal sebagai eksponen pemikiran pemisah agama dan negara. Tokoh yang pernah diangkat sebagai hakim syari’ah di Mesir (1915) ini menulis Al-Islam wa Ushulul al-Hukm: Bahtsun fi al Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam- Islam dan sumber-sumber kekuasaan politik; Kajian tentang Khilafah dan kekuasaan dalam Islam, diterbitkan pertama kali pada tahun 1925, yang berarti hanya berselang dua tahun setelah revolusi Kemalis yang menghapus sistem khilafah Turki pada akhir 1923. Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik, itu Raziq dalam hal tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran ibn Khaldun yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi dalam Islam maupun Barat modern. Raziq mengikuti Khaldun dalam pencarian sumber kekuasaan dari sebab-sebab alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh karena itu Raziq, seperti juga Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk menerima kekuasaan raja atau kekuasaan secular dan bukan khilfah (kekuasaan atau rezim yang memperoleh keabsahan ilahiah). Kendati demikian harus dicatat bahwa Raziq jauh lebih berani melangkah, dalam membangun tesis tentang kekuasaan. Menurut aktifis Hisb al-Ummah- organisasi yang sesungguhnya tergolong radikal di Mesir, kekuasaan harus lepas dari khilafat dengan mencari justifikasi kepada rakyat. Dalam kontek inilah Raziq menolak tesis Khldun yang meminta penguasa non-khilafat tetap membangun moralitas ilahiyah. Pandangan seperti ini menurut Raziq hanya menyebabkan bercapur aduknya justifkasi ilahiyah dengan justifikasi rakyat. Pada tingkat asumsi yang dibangun, Razik memang berbeda dengan Khaldun. Bagi Raziq sumber legitimasi kekuasaan tidak bisa dicampur aduk antara legitimasi rakyat (ascending of power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power). Tidak seperti Raziq, ibn Khaldun memandang bahwa khilafah adalah rejim Qur’ani, sebuah rezim politik yang mengurus kebutuhan manusia dunia dan akhirat, dijustifikasi berdasarkan kalam ilahi. Walaupun menurut Khaldun rezim Qur’ani tersebut hendaknya tidak menghapus atau menekan semua keinginan alami manusia dan institusi sosial, karena ia merupakan basis sebuah rezim apapun, rezim politik maupun Qur’ani. Lebih jauh dikatakan pula bahwa jika raja bertindak dengan ikhlas melayani kepentingan publik atas nama Tuhan, dan mengajak mereka perlu dikecam dalam diri pengusaha profan semacam ini. Berakar dari asumsi atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab alamiyah, Raziq membangun klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif sekularistik. Klaim tentang khilafat dan kekuasaan dalam Islam itu ia mulai dengan mengajukan pertanyaan besar: (1) Apakah kekhalifahan memang diperlukan ? (2) Apakah memang ada sistem pemerintahan yang Islami ? (3) Dari manakah sumber legitimasi kekuasaan, dari atas (Tuhan) atau dari bawah (rakyat) ? Pertanyaan ini muncul di tengah seting sosial saat itu yang ditandai dengan lemahnya kekahlifahan dalam Islam, tetuama di kawasan Eropa Timur, yang kemudian memicu ketegangan di kalangan aktifis politik Islam. Ketegangan atau konflik itu di Turki berujung dengan pembubaran kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) pada tahun 1923/1924 oleh pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk. Pembubaran itu dilakukan dengan alasan lembaga spiritual saat itu, khususnya lembaga keulamaan, dinilai hanya mengabdi kepda kepentingan sultan/khalifah, menjustifikasi penguasa, dalam hal ini khalifah, tanpa memperhatikan berbagai kelemahan yang dimilikinya. Kekecewaan masyarakat terhadap sultan atau khalifah saat itu muncul di tengah kekalahan mereka dari musuh yang antara lain berhasil menduduki Islamabad. Sultan dipaksa untuk menerima perjanjian damai yang memalukan. Perjanjian itu merampas kemerdekaan dan memecah belah wilyahnya. Umat Islam, terutama dipelopori Kemal saat itu menolak penghinaan ini dan memerangi Sultan dengan kekuatan senjata, sehingga menarik simpati seluruh dunia Islam. Rasyid Rida, editor majalah Al-Manar pun pada saat itu berada dalam barisan penentang para Sultan yang dinilainya telah mengedepankan kepentingannya sendiri daripada menjaga keutuhan dan khormatan wilyah negerinya. Di tengah melemahnya sistem khilafah antara lain karena disebabkan mengemukannya kepentingan pribadi penguasa seperti itulah Raziq lalu membangun argumentasinya tentang kekuasaan. Menurutnya masyarakat memang memerlukan kekuasaan politik, namun tidak harus dalam bentuk tertentu. Bahkan umat pun tidak harus dipersatukan secara politik. Tesis utama Raziq dapat dikemukakan sebagai berikut : (1) Bahwa Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spiritual. (2) Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitive. Karena itu umat Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun yang mereka rasakah cocok (3) Bahwa tipe-tipe pemerintah yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius. (4) Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam, karena ia digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam. Pikirannya yang menyimpang dari mainstream intelektual Muslim di Mesir saat itu, menyebabkan dia harus menanggung resiko di pecat dari jabatannya sebagai hakim syariah oleh Majelis Ulama Tertinggi Mesir, dan Al-Azhar menanggalkan gelar alim dari Raziq. Namun dalam mempertahankan argumennya, Raziq ketika diwawancarai wartawan Bourse Egiptienne sesaat setelah Dewan Ulama Pusat Mesir melancarkan kecaman terhadap dirinya, ia menyatakan gagasan utama dalam buku saya, yang telah membuat saya banyak dikecam, adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk Rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sendiri. Islam justru memberi kita kebebasan untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di sekeliling kita, dengan mempertimbangkan sosial dan tuntutan jaman. Pemikiran Raziq jelas merupakan kritik, di satu pihak terhadap pemikiran differensionis Ibn Khaldun di satu pihak, dan terutama adalah kritik kepada para pemikir Islam perspektif organik. Raziq tidak sependapat dengan pemikiran organik yang dianut oleh mayoritas Muslim saat itu. Dalam tipologi kekuasan organik, penguasa atas nama negara memberikan dukungan dan akomodasi terhadap negara. Simbol-simbol agama akan dikenakan dalam acara-acara resmi maupun tidak resmi dan bahkan dalam sistem negara teokratik, penggunaan symbol-simbol agama itu dilakukan secara institusional dan formalistik. Dalam kajian Islam, diskusi hubungan agama dan kekuasaan atau politik organis, memunculkan klaim tidak ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga kekuasan bukan sekedar representasi, tetapi adalah presentasi dari agama. Di sinilah Raziq berbeda paham dengan para penganut Islam formalistik seperti Sayyid Qutb, Rida maupun Al-Maududi. Menurut Raziq, persyaratan yang dibangun untuk menjustifikasi penyatuan agama dan politik dalam Islam didasarkan kepada teradisi pemikiran skripturalistik, idealistik dan formalistik dalam memahami teks doktrinal agama (Woodward, 1998 : 283-311). Dalam pemikiran skpritualistik pemahaman agama dilakukan secara tekstual. Pemikir seperti Sayyid Qutb, misalnya mengartikan secara harfiah ayat Al-qur’an : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 5:44,45,47) Ayat ini dfahami sebagai perintah menjalankan pemerintahan illahi dalam lembaga formal sehingga lalu memunculkan konsep negara teokratis, dengan simbol-simbol kekuasaan bersumber dari Islam. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan, penganut perpsektif skripturalis cenderung berangkat dari asumsi descending of power, dalam hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dan dengan demikian penguasa tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang dari sini lalu muncul pemerintahan teokratis. Pemikiran skripturalistik sering menampilkan kecenderungan bertindak secara idealistik dengan melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam ideal. Tokoh seperti Al-Farabi dan filosof Ikhwan al-Shafa, misalnya mengajukan negara ideal yang disebut al-madinah al-fadilah (negara utama). Karena konsepsi ini bercorak filosof, maka cenderung a-historis. Mengenai sikapnya terhadap penyelenggaraan politik pemerintahan, maka kaum idealis cenderung tidak realis dalam menghadapi format politik dan kenegaraan yang ada. Pandangan idealis ini kemudian lebih cenderung berorientasi formalistik, sebuah pemikiran yang lebih mengedepankan bentuk (body) dari pada isi (mind). Mereka tidak terusik dengan kenyataan bahwa bisa saja kekuasaan mengendalikan body, meski tidak otomatis dapat mengendalikan mind. Dalam hal politik penyelenggaraan pemerintahan, negara dipandang sebagai simbol agama, sehingga perlu politik yang Islami, antara lain dengan membentuk negara Islam atau Partai Islam. Sikap idealis dan tidak realistik, di tambah dengan kecenderungan untuk melakukan formalisme ajaran tersebut memicu ketidak sabaran sejumlah pegerakan kebangkitan Islam seperti kelompok Al-Jamaah al-Islamiyah maupun gerakan Jihad untuk merespon pemerintahan Mesir yang cenderung secular secara radikal, berbeda dengan strategi yang diterapkan Iskhwanul Muslimin yang cenderung lebih moderat. Dalam membangun tesis pemisah agama dan politik Raziq, menghidarkan diri dari pemikiran skriptualistik, idealistik maupun formalistik. Raziq menegaskan bahwa tidak ada rujukan yang dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits untuk membuktikan adanya persyaratan menggerakan sistem kekhalifahan. Peraturan tentang kekuasaan politik, politheisme, perbudakaan atau tentang apapun tidak lantas menjadi wajib hanya karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an yang sangat terkenal, “patuhlah kepada Allah, Rasul dan ulil amri, “ tidak dengan serta merta merujuk kepada penguasa politik baru manapun. Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, Raziq menyatakan bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’ Oleh karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan : Muhammad hanyalah seorang utusan (Allah). Ia betul-betul mengabdikan dirinya bagi dakwah agama tanpa kecenderungan yang menyangkut kedaulatan yang sementara sifatnya, karena ia tidak menyerukan bagi sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan…. Nabi tidak memiliki kerajaan ataupun pemerintahan yang sifatnya temporal. Ia tidak mendirikan kerajaan dalam pengeritan politik atau apa pun yang sinomim dengannya;…. Ia hanyalah seorang Nabi, seperti Nabi-nabi yang lain yang mendahuluinya. Ia bukanlah raja atau pun pembangun negara, Ia juga tidak menyerukan bagi dibangunnya imperium temporal (al-Raziq, 2001 : 133). REFERENSI: Dahlan, Abdul Azis dkk., (ed)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoevee, cet. IV, 2000 Al-Raziq, Ali Abd., 1966, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut : Maktabah al-hayah. ‘Imara, Muhammad, 1972, al-Islam wa Ushul al hukm li ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Beirut : Dar al-Fikr. Effendy, Bachtiar, 1998, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina Al-Maududi, Abu al-A’la, Khalifah dan Kerajaan, Evaluasi atas Sejarah Pemerintahan, Bandung : Mizan, 1984 Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut : Dar al-Fikr, 1966

DAULAH ISLAMIYAH oleh:Nurun Maksuni

Jumat, 14 September 2012 DAULAH ISLAMIYAH ; Kajian Teoritis Konsep Tata Negara Dalam Fiqh Islami Muqadimah Lima belas abad berlalu risalah islam diturunkan dimuka bumi sebagai risalah penutup dan penyempurna diantara risalah-risalah sebelumnya yang telah Allah SWT turunkan kepada umat manusia sebagai petunjuk jalan kebenaran dan menuntun umat manusia agar senantiasa hijrah dari jalan kegelapan menuju jalan terang benerang [QS 2 :257]. Islam sebagai penutup dari risalah-risalah sebelumnya sudah sepatutnya mempunyai sebuah nilai universalisme ajaran yang mengatur semua sisi ruang kehidupan manusia baik pola hubungan vertikal maupun pola horizontal, sehingga tercermin diferensi ajaran bagi risalah sebelumnya. Universalimse ajaran tersebut adalah anugrah Allah SWT yang tak terhingga nilainya bagi umat islam dan bagi umat manusia pada umumnya [QS 5:3]. Berangkat dari kekafahan ajaran tersebut, tidaklah berlebihan bila dalam kontek kenegaraan ajaran islam telah memiliki sebuah konsep teoritis, dimana dasar-dasar pondasi daulah islamiyah atau Negara islam tersebut, sudah teraplikasikan semenjak agama islam diturunkan pertama kali, dalam fase dakwah kedua setelah Nabi Muhamad SAW hijrah ke kota Madinah. Setelah beliau selesai menunaikan tugasnya dan pulang ke hadirat-Nya, kendali kepemimpinan islam diteruskan oleh para sahabat-sahabat beliau fase khulafaurrosyidin, kemudian kepemimpinan daulah islamiyah tersebut beralih ketangan kaum tehnokrat islam dimulai dari Bani Umayah berturut-turut Bani Abasiyah, Daulah Fatimiyah sehingga khilafah islamiyah berakhir dengan berakhirnya kekuasaan Turki Usmani di penghujung abad sembilan belas. Konsep teoritis tata negara dalam islam sudah diakumulasiakan oleh para sarjana-sarjana islam kedalam bentuk disiplin keilmuan cabang dari disiplin ilmu Fiqh, bahkan beberapa fuqaha melihat urgentnya sub thema pembahasan ini, telah mekodifikasikannya kedalam sebuah maha karya agung yang bersifat mustakil (independent) dari bab-baba fiqh lainya diantaranya para fuqaha tersebut : Qadi Abu Yusuf dalam kitab al Khoroz, Al Mawardi dan Qadi Abu Ya’la masing-masing dalam kitab al Ahkam al Sulthaniyah dan Ibnu Taimiyah dalam kitab al Siyasah al Syar’iyah serta para fuqaha ahli tata Negara lainya yang tidak disebutkan disini. Untuk tidak memperpanjang lebar uraian muqadimah, dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraiakan tentang konsep daulah islamiyah yang telah di gagas oleh para sarjana-sarjana fiqh islam tersebut. Definisi Daulah Secara bahasa kalimat daulah oleh para ulama diartikan sebagai[1] : حصول الشي في يد هذا تارة وفي يد أخرى, أو العقبة في المال والحرب (أي التعاقب) Sesuatu yang kadang dihasilkan dari tangan ini dan dihasilkan dari tangan lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau peperangan. Penggunaan kata daulah digunakan sebagai kata istilah, belum begitu merata dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya beberapa kitab yang sudah memakainya seperti kitab ahkam sultoniyah. Namun begitu oleh para fuqaha zaman dulu, pembahasan daulah islamiyah dalam kitab fiqh-fiqh turast sudah dimasukan kedalam sub thema pembahasan kepemimpinan negara (al ahkam al imamiyah) dengan menegaskan bahwa daulah adalah representasi dari sosok kepemimpinan tinggi, atau istilah lainya khalifah. Dimana dalam bab ini mencakup pula sub-sub thema selanjutnya dari bab tentang wewenang, tugas dan hak seorang pemimpin. Oleh para fuqaha tatanegara islam daulah islamiyah didefinisikan sebagai[2]. : مجموعة الإيلات تجتمع لتحقيق السيادة على أقاليم معينة, لها حدودها, ومستوطنوها, فيكون الحاكم أو الخاليفة, أو أمير المؤمنين, على رأس هذه السلطات. Gabungan kelompok masyarakat yang menguasai kawasan tertentu, mempunyai wilayah dan anggota masyarakat tertentu, dan hakim atau khalifah atau amirul mu’minin yang bertindak sebagai pucuk pimpinan kekuasaaan ini. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya negara[3] itu terdiri dari tiga unsur yaitu : wilayah, rakyat dan pemerintahan. Dalam mengkaji ketiga unsur pokok sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli tata negara telah menjabarkannnya di dalam thema pembahasan hukum dar al islam. Dr. Wahbah Zuhaily berkata : hijrahnya Nabi SAW dari kota Mekah menuju kota Madinah yang merupakan titik awal berdirinya sebuah daulah islamiyah oleh kalangan fuqaha dimasa awal-awal islam belum digunakan sebagai sebuah terminologi umum, melainkan mengungkapkannya dengan istilah dar al islam, karena kalimat daulah belum banyak digunakan ulama saat itu. Disisi lain terdapat korelasi makna yang bersifat talazum antara istilah kalimat daulah dan dar al islam.[4] Beliau juga menambahkan, walaupun ada ketalazuman pengertian antara kedua istilah tersebut, namun bila ditinjau dari sudut wilayah kekuasaan terdapat titik perbedaan antara masing-masing istilah tersebut, pengertian istilah dar islam lebih terfokus pada pokok unsur yang bersifat materi (maksudnya tanah kekuasaan atau kawasan) sedangkan konotasi istilah daulah islamiyah lebih bersifat sebagai sebuah instusi kekuasaan yang bersifat independen.[5] Dan pengertian dar al islam dengan ketiga unsur pokoknya sebagai definisi sebuah Negara, adalah sesuai dengan pengertian negara yang dikemukakan para ahli tata negara modern pada saat masa ini. Unsur-Unsur Pokok Daulah Islamiyah Sebagaimana disinggung diatas, bahwasanya istilah negara dalam pengertian pada masa kini diartikan sebagai : sekumpulan masyarakat dengan jumlah yang banyak yang mendiami kawasan atau geografi tertentu secara permanent, dan tunduk kedalam sebuah aturan instusi kekuasaan atau wilayah politik tertentu. Dari pengertian tersebut terdapat tiga unsur pokok utama yaitu : bangsa atau sekumpulan masing-masing pribadi, iklim atau kawasa dan kekuasaan atau pemerintahan[6]. Uraian ketiga unsur utama pemerintahan, menurut corak pandang fiqh islami -sebagai aplikasi teoritis ajaran-ajaran islam- adalah sebagai berikut : 1. Wilayah Wilayah dalam pemerintahan islam adalah mencakup semua kawasan yang dihuni orang islam, terdiri atas geografi dan lingkungan tempat tinggalnya antara lain : Tanah : yaitu bagian unsur kering permukaan bumi yang didiami orang islam dan tunduk dalam wilayah dan kekuasaanya, baik itu berupa perkotaan, pedesaan, gurun, hutan, gunung atau kepulauan.[7] Sungai : yaitu air yang mengalir dari hulu -sumber air tersebut- sampai ke hilirnya, termasuk dalam wilayah pemerintahan islam. wilayah perairan pantai dan kawasan wilayah laut yang masuk dalam katagori ZEE (Zone Ekonomi Eklusif), yaitu kawasan perbatasan laut yang diambil dari jarak pantai terdekat. Adapun perairan yang masih dalam kawasan islam jelas mutlak milik negara islam seperti halnya danau dan bendungan. Pembahasan tentang wilayah dan aspek-aspek hukum didalamnya menurut teori ketata negaraan islam telah dijelaskan secara konperehensif oleh para fuqaha tatanegara islam dalam sub thema pembahasan fiqh milkiyah (fiqh asas perekonomian Negara). 2. Rakyat Rakyat -atau dalam pengertian Qur’an disebutkan dengan istilah umat [QS 21:92]- dalam pengertian istilah dewasa ini terdiri atas dua unsur : unsur material, yaitu mendiami kawasan tertentu di muka bumi secara permanen, dan unsur ma’nawi (spiritual), yaitu keinginan untuk hidup bersama-sama. Pengertian rakyat sebagai salah satu unsur pokok terciptanya sebuah negara, menurut teori tata Negara islam adalah terdiri dari orang-orang islam yang mengimani ajaran-ajaran islam baik dari segi agama, syari’at, akidah maupun aturan-aturannya. Dan orang-orang kafir dzimi, yaitu orang yang tidak menganut islam akan tetapi bertempat tinggal secara permanent di wilyah islam dengan bersedia menjalani semua aturan-aturan yang ditetapkan pemerintahan islam. Umat dalam Negara Islam adalah terdiri dari kedua jenis unsur masyarakat tersebut (muslim dan kafir dzimi) yang diikat kedalam sebuah aturan-aturan politik dan undang-undang, dimana dalam teori istilah sekarang dinamakan warga negara. Terdapat titik perbedaan sudut pandang dalam pengertian istilah rakyat antara teori tata negara pada pada umumnya dengan teori tata negara islam, ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Rakyat atau umat dalam pengertian negara pada umumnya adalah masyarakat yang dibatasi wilayah geografi tertentu, hidup didalamnya kumpulan individu-individu yang terikat atas persamaan suku bangsa, warna kulit, bahasa, agama, adat istiadat atau kepentingan tertentu. Sedangkan rakyat dalam pandangan pemerintahan islam adalah sebuah asas yang berdasarkan prinsip-prinsip dan tujuan garis-garis besar ajaran islam, dari sistem yang berasaskan kemaslahatan hidup bagi umat manusia serta menjahui prinsip rasisme, feodalisme, fanatisme kawasan dan kebangsaan. Ikatan utama dalam pemerintahan islam adalah satu kesatuan dalam aqidah atau dalam ungkapan lain diungkapkan satu kesatuan dalam corak fikir dan hati masing-masing warga negara daulah islamiyah. Setiap orang yang memeluk islam baik dari golongan, jenis, warna kulit, kawasan manapun dan orang-orang non mulim yang bertempat tinggal dikawasan islam dengan bersedia mematuhi aturan-aturan negara islam, mereka adalah warga negara islam. Dimana pengertian rakyat dalam pandang pemerintahan islam oleh Dr.Wahbah diktakatan sebagai sudut pandang yang lebih bersifat manusiawi dan sudut pandang internasional yang lebih substansif [8], karena asas ikatan masing-masing individu dalam negara islam, bukan semata atas persamaan tanah air, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya. Melainkan lebih dari itu, ikatan yang mengikat adalah adakalanya atas persamaan aqidah atau ketundukan politik dengan negara islam. [9] 3. Pemerintahan Pemerintahan dalam islam mempunya dua sifat aspek kekuasaan ; aspek internal dan aspek eksternal. Adapun dalam aspek intenal, negara berkuasa penuh atas semua individu dan instusi-instusi yang ada dalam negara islam. Rakyat wajib taat sepenuhnya kepada pemerintah sepanjang masih dalam batas-batas syari’at. Nabi berkata : لا طاعة في معصية الله, إنما الطاعة في المعروف[10] Artinya : tidak wajib metaati perintah yang ngandung maksiat kepada Allah, ketaatan hanya ada dalam hal kebaiakan. Dalam aspek ini, oleh al Mawardi -sosok fakih tata negara islam- dijelaskan bahwa : Apabila imam (kepala negara) telah menjalanka semua tugas-tugasnya dalam memenuhi hak-hak rakyatnya dan menegakkan hak-hak Allah SWT diantara mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam yaitu : hak mentaatinya dan hak membantu tugasnya.[11] Adapun dalam aspek kekuasaan eksternal negara islam, al Quran telah menegaskan tentang asas prinsip pemerintahan yang berkuasa penuh, independen dan bebas dari campur tangan asing [QS 4:141] dan firman Allah swt [QS 63:8]. Pola Pemerintahan Daulah Islamiyah Dalam teori ketatanegaran modern terdapat bermacam-macam pola pemerintahan, diantaranya; pola tehnokrasi yaitu kekuasaan mutlak ditangan raja. Kemuadian pola teokrasi dimana kekuasaan penuh berada ditangan para khalifah (wakil) tuhan dimuka bumi. Dan pola demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai penguasa mutlak bagi sebuah pemerintahan. Pola pemerintahan yang dianut negara islam, sebagaimana pola yang dianut teori ketatanegaraan kontemporer, adalah memakai pola demokrasi. Kebenaran argument tersebut -pola pemerintahan demokrasi yang dianut Negara Islam- bisa ditelusuri antara lain : Berdasarkan mekanisme distribusi kekuasaan yang telah teraplikasikan semenjak pertama kali pemerintahan islam berdiri. a. Hak-hak politik yang sama dalam hal bisa dipilih dan memilih.[12] b. Hak beroposisi dalam mengkoreksi kebijakan kepala Negara bila dinilai tidak tepat.[13] c. Hak melengserkan kepala negara bila keluar dari tugas dan kewajibannya.[14] Adalah sangat keliru bila menyimpulkan pola daulah islamiyah adalah menganut sistem pemerintahan teokrasi, yaitu pola pemerintahan dengan berdasarkan kuasaan mutlak penuh milik Tuhan yang dipresentasikan oleh kaum agamawan sebagai wakil Tuhan. Hal ini sebagaimana pola pemerintahan Kristen katolik di Vatikan Roma pada abad pertengahan, yang memegang otoritas kekuasaan penuh baik dalam hal pengaturan praktek ubudiyah maupun muamalah umat kristiani waktu itu. Kekeliruan tersebut, walaupun dalam pemerintah islam hukum mutlak dalam genggaman Allah SWT [QS 40:12] dan [QS 12:40], akan tetapi dalam aplikasi hukumnya, semua manusia wajib melaksanakan, baik itu seorang kepala negara maupun rakyat jelata. Dan tidak ada hak-hak istimewa dihadapan hukum Allah SWT [QS 5:48] , semua manusia mempunyai tanggung jawab sama dihadapan-Nya [QS 6:164]. Berangkat dari ciri-ciri diatas, sangat tidak tepat bila daulah islamiyah dikatagorikan sebagai negara teokrasi. Distribusi Kekuasan dalam Daulah Islamiyah Jauh sebelum montasque mencetuskan gagasan trias politika masa revolusi prancis pada abad sembilan belas, daulah islamiyah sudah mengaplikasikan pendistribuasian kekuasan kedalam model pemerintahannya yang telah berdiri tiga belas abad sebelumnya. Pola pemerintahan yang terdiri atas kekuasaan legeslatif , eksekutif dan yudikatif atau lebih dikenal dengan istilah trias politika adalah salah satu ciri Negara Islam yang berasaskan demokrsasi. Legislatif Kekuasaan legeslatif adalah majelis yang mempunyai tugas dan kewajiban membuat undang-undang dan mempunyai hak mengangkat dan memberhentikan kepala negara, oleh fuqaha majelis tinggi ini dikenal dengan istilah ahlul hil wal ‘aqd. Perlu digaris bawahi disini, bahwasanya otoritas penuh dalam penetapan syari’at dan perundang-undangan dalam daulah islamiyah mutlak penuh dalam genggaman Allah SWT (al Qur’an) dan Rasul-Nya (al Hadist) [QS 33:36], [QS 4:65] dan [QS 24:63]. Tugas ahlul hil wal ‘aqd adalah berijtihad atas sesuatu hukum yang belum dijelaskan dalam Qur’an maupun Hadist, atau berijtihad terhadap nas-nas (teks) yang masih bersifat dhaniyah (jumud). Oleh karena itu, setiap keputusan majelis ini tidak boleh keluar dari rel-rel yang telah digariskan Qur’an dan Hadist. Karena menentukan sebuah hukum yang tidak ada nas sharih yang menjelaskannya atau nas yang masih jumud, maka anggota majlis ahlul hil wal ‘aqd haruslah terdiri dari orang-orang yang mempunyai kapabelitas dalam berijtihad atau orang-orang mempunyai spesialisasi bidang keilmuan tertentu seperti dokter, arsitek, dll. Melihat urgennya posisi ini para fuqoha telah membuat kriteria ketat dalam menentukan siapa saja yang berhak untuk duduk dalam majlis ini diantara kriteria tersebut antar lain [15] : a. Mempunya sifat ‘adalah [16] b. Mempunyai kapabelitas keilmuan yang cukup c. Mempunyai pola pandangan tajam kedepan terutama dalam hal pengangkatan dan pemberhentian kepala negara. Eksekutif Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan pelaksana pemerintahan yang terdiri dari kepala negara dibantu para menteri kabinetnya. Oleh para fuqaha, teori pengangkatan kepala negara dibagi kedalam beberapa teori yang tidak mungkin dijelaskan disini, mengingat lebarnya tema pembahasan ini. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang yang layak untuk diangkat sebagai seorang kepala Negara antara lain : a. Orang yang mempunyai kekuasaan penuh atas dirinya yaitu : muslim, merdeka, laki-laki, baligh, berakal. b. Mempunyai sifat ‘adalah c. Mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai d. Bijaksana dalam mengambil keputusan baik dalam bidang politik, mengangkat senjata, dan administrasi kenegaraan. e. Bejiwa tegas f. Sempurna jiwa raganya Kewajiban kepala negara Tugas dalam bidang keagamaan Hifd al din Jihad melawan musuh Mendistribusikan harta rampasan perang dan shadaqah e. Mengendalikan dan mengatur syiar-syiar keagamaan Tugas dalam bidang politik Menjaga stabilitas keamanan dan tata tertib umum dalam negara Mempertahanakan wilayah negara dari serangan musuh Mengepalai langsung urusan-urusan umum Mengusung keadilan diantara rakyatnya Mengatur perputaran keuangan negara Mengangkat dan memberhentikan para aparatur negara Tidak melenceng dari nas-nas yang telah digariskan Qur’an, Hadist dan Ijma’ Sebagaimana lazimnya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepala negara dibantu oleh para menteri. Dalam pemerintahan islam kementerian dibagi kedalam dua katagori : pertama Menteri Tafwid dimana dalam masa sekarang lebih menyerepuai jabatan perdana menteri. kedua Menteri Tanfidz yaitu pembantu kepala negara yang mengepalai bidang tertentu.[17] Yudikatif Sudah menjadi kelazimannya, kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang membidangi masalah mahkamah dan pengadilan sebagaimana halnya sistem tata negara pada umumnya. Oleh karena itu, penulis memandang tidak perlu memperpanjang lebar uraian pembahasan ini, dikarenakan hal tersebut sudah mafhum dan tidak ada perbedaan yang berarti antara kedua sistem tatanegara tersebut. Namun disini perlu disingggung tentang instusi-instusi dibawah kekuasan yudikatif selain mahkamam dan pengadilan seperti teori wilayah madholim, dimana instusi ini lebih mendekati kepada system pengadilan administrasi negara dalam sistem tata negara kontemporer. Selanjutnya dalam sistem tata negara daulah islamiyah terdapat pula instusi yang dinamakan wilayahtul hisbah, namun untuk menguraikannya perlu penjelasan panjang lebar yang tidak mungkin dijelaskan dalam makalah ini. Iqamah al Khilafah Islamiyah dan Wahdah Khilafah Islamiyah Sub thema pembahasan ini adalah sub thema krusial yang selalu hangat diwacanakan di negara kita Indonesia tercinta, terutama ketika ada moment mu’tamar internasional tentang khilfah islamiyah di Indonesia. Dalam menghukumi pendirian daulah islamiyah apakah wajib atau tidak para fuqaha telah mengklasifikannya kedalam dua arus gelombang pendapat yaitu : Pendapat pertama yang menghukumi pendirian negara islam adalah suatu kewajiaban bagi kaum muslimin. Pendapat ini disokong oleh golongan ahlu sunah wal jamaah, murji’ah, syi’ah, sebagian mu’tazilah, khawariz kecuali pecahan aliran najdat. Pendapat kedua yang menghukumi jawaz (boleh) pendirian khilafah islamiayah pendapat ini kuatkan oleh aliran najdat dari kelompok khawarij, Dhiror, Abu Bakar al Asham al Mu’tazili, Hisyam al Fuaidi dan Ibad bin Sulaiman.[18] Adapun dalil dari kedua argument tersebut agar tidak terjebak dalam pemahaman yang menyesatkan, penulis sarankan agar merujuk langsung kepada masing-masing pemilik pendapat tersebut dan mentarjih sendiri mana yang lebih lebih bermanfa’at dan maslahah dalam masa sekarang dan sesuai dengan maqasid syari’ah,[19] karena menurut hemat penulis masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang sifatnya dhoniyah dan dikatagorikan sebagai siyasah syar'iyah. kalau toh masalah khilafah islamiyah termasuk dalam wilayah qat’i (bukan wilayah ijtihad), tentunya semenjak dulu peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam umat islam -dimulai dari fitnah terbunuhnya kalifah Usman RA yang disusul kemudian peristiwa Jamal disambung kemudian peristiwa siffin, berubahnya pola pemerintahan islam dari system khilafah kedalam system tehnokrasi hingga terpecahnya islam menjadi Negara-negara kecil setelah preode dinasti Abasiyah berakhiri- hal tersebut tersebut tidak perlu terjadi bila ada nas yang sharih dan qat’i dilalah dari shahib al musyari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya), tentang sistem khilafah islamiyah. Adapun mengenai wahdah khilafah islamiyah, penulis memandang persoalan tersebut adalah masuk katagori ijtihadi juga, karena sama dengan diatas tidak ada nas yang qat’i yang mewajibkan wahdah khilafah islamiyah.[20] Oleh karena itu dikembalikan kepada kontek kemaslahatan dari umat islam itu sendiri. Penutup Sebagai uraian penutup kita patut bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah yang maha sempurna kepada kita dan untaian syukur patut pula kita sampaiakn kepada-Nya karena telah menjadiakan kita umat islam sebagai umat wasat (moderat) [QS 2:143]. Dan menjadikan ajaran islam sebagai ajaran yang kamil mencakup semua aspek sisi kehidupan manusia sehingga hal-hal yang dianggap sepele seperti cara makan, anjuran menjaga kebersihan, syriat islam telah menjelaskannnya. Hal tersebut sungguh tidak masuk akal bila islam tidak menyinggung konsep khilafah islamiyah, sebuah aturan yang sangat-sangat vital bagi keberlangsungan kehiduapan umat manusia sebagaimana argument yang dilontarkan orang-orang barat yang mengatakan bahwa islam hanyalah sebuah ajaran yang tidak lebih dari sebatas kawasan masjid. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para peserta diskusi dan bagi penulis pada khususnya. بالله التوفيق والهداية والله أعلم بالصواب [1]- Lihat : “Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal 36 juz 6 [2] - ibid [3] - dalam pengistilahan penamaan penulis kadang menyebutkan kalimat daulah dengan negara atau pemerintah karena persamaan maksud dari ketiga kalimat tersebut. [4] - Dr. Wahbah Zuhaily : Fiqh Islam Wadillatuh, hal 6304 juz 8 [5] - ibid hal 6305 juz 8 [6] - Dr. Mohamad Aziz Syukri; al Waziz Fi al Qanun Duali 'Am, Damaskus University Press. hlm 42 [7] - Ibn Abidin; Raddul Muhtar (hasiyah ibn abiding), hal 277 juz 3 al halabi press. [8] - Sebagaimana dalam ta’bir beliau مما يدل على أن نظرة الإسلام انسانية وأفقه عالمي [9] - Dr. Wahbah Zuhaily; Fiqh Islam Wa Adilayuh, hal 6319 juz 8 [10] - Hadits riwayat Imam Muslim dari Sahabat Ali RA [11] - al Mawardi ; al Ahkam Al Sulthaniyah hal 15 [12] - hal tersebut telah terekam melalui peristiwa-peristiwa suksesi kehalifahan setelah Nabi SAW meninggal dunia. [13] - seperti yang dilakukan sahabat Umar RA dalam memprotes kebijakan Nabi SAW dalam ratifikasi hudaibiyah hasil kesepakatan antara Nabi SAW sebagai pucuk pimpinan pemerintahan islam dengan orang-orang kafir mekah. [14] - Nabi SAW berkata : السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره, مالم يؤمر بمعصية, فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة [رواه أحمد ومسلم] Orang islam harus patuh dan setia kepada pimpinannya baik suka atau tidak suka, selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak ada ketaatan baginya. [HR Ahmad dan Muslim] [15] - al Ahkam al Sulthaniyah; almawardi , hal 4 [16] - yang dimaksud ‘adalah disini : sifat yang senetiasa melekat pada pemiliknya untuk selalu berbuat takwa dan menjaga muru’ah. [17] - Wahbah Zuhaili; Fiqh Islam wa Adillatuh. Hal 6185 juz 8 dan seterusnya [18] - Ibid Hal 6146 juz 8 dan seterusnya [19] - Lebih jelasnya lihat dalam Wahbah Zuhaili; Fiqh Islam wa Adillatuh. Hal 6146 juz 8 dan seterusnya [20] - Adapun hadist Nabi SAW : "اذا بويع لخلفتين فاقتلوا الآخر منهما" [ أخرجه مسلم من حديث أبي سعيد الخدري] artinya : ketika terjadi pelantikan dua kepala Negara maka bunuhlah salah satunya [HR Muslim dari Abi Said al Khudri]. Secara literalis dalil ini mengharamkan adanya dualisme kepemimpinan dalam islam, namun dalam prakteknya, Mua’wiyah shahabat Nabi SAW gubernur wilayah syam waktu itu berani mengangkat senjata melawan shahabat Ali RA, kepala negara pemerintahan islam waktu itu. Ini menunjukan bahwa dilalah hadits tersebut tidak qat’i karena tidak ada ijma’ didalamnya. Disamping itu para fuqaha madzhahibul arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) terdapat dua pendapat yang berlawanan, Jumhur fuqaha mewajibkan wahdah khilafah islamiyah sedangkan madzhab syafi’i memperbolehkan dualisme wilayah kekuasaan dalam khilafah islamiyah. Lihat "Maushu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah"; Madah دولة http://nurunmaksuni.blogspot.com/2012/09/daulah-islamiyah-kajian-teoritis-konsep.html Diposkan oleh nurun maksuni di 22.06 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest

FATWAULAMA SEPUTAR SIKAP EKSTREM, PENGKAFIRAN DAN SEBAGIAN CIRI-CIRI KHAWARIJ

Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-ciri Khawarij (1) 26 September 2009, 8:50 amFatwa Ulama, Khawarij, ustadz Penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi Tidak selayaknya bagi anda wahai faqih (ahli fikih), untuk tergesa-gesa mengafirkan seorang muslim, kecuali dengan bukti yang nyata. Sebagaimana anda tidak boleh berkeyakinan kearifan dan kewalian seorang yang telah nyata kesesatannya, tersingkap batin dan kemunafikannya. Tidak boleh dilakukan ini ataupun itu, yang benar adalah selalu bersikap adil, yaitu: orang yang telah dinilai oleh kaum muslimin sebagai orang saleh dan baik, maka dia demikian adanya karena mereka adalah para saksi Alloh di dunia, dan orang yang dinilai oleh umat Islam sebagai orang yang durhaka, munafik, orang batil, maka dia demikian adanya. Sedangkan orang yang divonis sesat oleh satu kelompok, sedangkan kelompok lain memuji dan mengagungkannya, dan kelompok lain lagi enggan untuk berkomentar dan berhati-hati, tidak berani untuk mendiskreditkannya, maka kasus seperti ini termasuk polemik yang harus dijauhi, duduk masalahnya kita serahkan kepada Alloh dan dimintakan ampun baginya secara umum. Sebab keislamannya diyakini keberadaannya, sedangkan kesesatannya masih diragukan. Dengan ini anda akan hidup tenang, hati anda suci dari rasa iri terhadap kaum muslimin. Ketahuilah bahwa seluruh ahlul kiblah (kaum muslimin dengan berbagai alirannya), baik mukmin, fasik, sunni maupun seorang ahli bid’ah -selain para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak pernah ada kesepakatan (ijma’) tentang seseorang muslim, bahwa ia sebagai orang yang berbahagia lagi selamat (dari neraka) dan tidak juga bahwa ia sebagai sosok yang celaka lagi binasa Sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq seorang tokoh tanpa tandingan dari umat ini, anda tahu bahwa manusia tidak sepakat tentang beliau. Demikian juga halnya Umar, Utsman, Ali, Ibnu Zubair, Al Hajjaj, Al Makmun, Bisyr Al Mirrisi, Imam Ahmad, Syafii, Bukhari, An Nasa’i dan seterusnya, baik dari figur-figur baik maupun tokoh-tokoh jahat hingga hari ini. Tidak ada seorang panutan dalam kebaikan kecuali pasti ada oknum-oknum dari orang-orang bodoh dan ahli bid’ah yang mencela dan menjelek-jelekannya. Juga tidak ada seorang gembong dalam aliran Jahmiyyah maupun Syi’ah, melainkan pasti ada sekelompok orang yang akan membela, dan melindungi, serta menganut pemahamannya, tentunya atas dorongan hawa nafsu dan kebodohan. Tolok ukur sebenarnya adalah pendapat mayoritas kaum muslimin, yang bebas dari pengaruh hawa nafsu dan kebodohan (netral), yang berhati-hati lagi berilmu. Cermatilah wahai hamba Allah, sekte Al Hallaj, yang dia adalah pemuka Qaramithah (kebatinan) dan penjaja kekufuran, berbuat adillah dan berhati-hatilah dalam bersikap, introspeksi diri anda, jika kemudian terbukti menurut anda bahwa perangai orang tersebut adalah perangai musuh Islam, gila pangkat, gandrung pada popularitas, baik dengan cara benar maupun salah, maka jauhilah ajarannya. Kalau terbukti menurut anda, -semoga Allah melindungi kita-, bahwa dia adalah seorang yang menyebarkan kebenaran lagi mendapatkan petunjuk, maka perbaharuilah keislaman anda, mintalah kepada Robbmu agar memberikan taufik-Nya kepada anda untuk menuju kepada kebenaran, memantapkan hati anda di atas agama-Nya. Sesungguhnya hidayah adalah cahaya yang dilontarkan pada qalbu seorang muslim, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah. Jika anda diliputi keraguan, belum mengetahui hakikat orang ini, dan anda cuci, merasa berlepas diri dari tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepadanya, dengan ini anda telah menyamankan diri anda, dan Allah tidak akan bertanya kepada anda tentang orang ini. (Siyar A’lamin Nubala’ 14: 343). Penjelasan Hai’ah Kibaril Ulama’ Segala puji hanya milik Allah, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga, dan sahabatnya serta orang yang mengikuti jalan beliau. Amma ba’du: Majlis Hai’ah Kibaril Ulama’ pada rapat ke-49, yang berlangsung di Taif mulai 2/4/1419 H, telah mempelajari berbagai tragedi yang terjadi di banyak negara-negara islam dan lainnya, yang berupa pengafiran, dan pengeboman, serta kerugian yang ditimbulkan oleh hal tersebut, berupa pembunuhan dan pengrusakan sarana umum. Menimbang betapa bahayanya perkara ini, dan akibatnya, yang berupa pembunuhan orang tak bersalah, pengrusakan harta benda yang dilindungi, menimbulkan rasa takut, mengganggu stabilitas keamanan dan kedamaian masyarakat, maka Majelis menganggap perlu untuk mengeluarkan penjelasan tentang hukum tindakan tersebut, dalam rangka menasihati untuk Allah dan untuk hamba-Nya, menunaikan tanggung jawab, menghilangkan kesamar-samaran dalam pemahaman, maka kami katakan -wa billahit taufiq-: Pertama: Takfir (pengafiran) adalah hukum syar’i, rujukannya adalah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana halnya menghalalkan, mengharamkan dan mewajibkan adalah hak Allah dan Rasul-Nya, demikian pula dengan pengafiran. Tidaklah setiap perkataan atau perbuatan yang disifati dengan kekufuran adalah kufur besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Dan karena rujukan hukum pengafiran adalah Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh bagi kita untuk mengafirkan, kecuali orang yang jelas-jelas telah dikafirkan oleh Al Quran dan As Sunnah, tidak cukup hanya sekedar syubhat atau prasangka belaka, karena hal ini memiliki konsekuensi hukum yang besar. Apabila hukum hudud (pidana) harus dibatalkan dengan sebab adanya syubhat,-walaupun akibatnya lebih ringan dari pada takfir-, maka takfir lebih pantas untuk dibatalkan dengan sebab adanya syubhat. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dari menghukumi kafir orang yang bukan kafir, beliau bersabda: أيما امرئ قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه “Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: ‘wahai orang kafir’, maka pengafiran itu pasti mengenai salah seorang dari mereka, jika betul apa yang ia katakan (maka habis perkara-pent) jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (HR. Bukhory, pada kitab: Al Adab Bab: “Barang siapa yang mengafirkan saudaranya tanpa ada alasan, maka ia seperti ucapannya sendiri” no: 6104, dan Muslim, pada kitab Al Iman, Bab: “Penjelasan tentang keimanan seseorang yang mengatakan kepada saudaranya orang muslim, wahai orang kafir” no: 60) Kadang ada dalam Al Quran dan As Sunnah dalil yang dapat dipahami bahwa perkataan atau perbuatan atau keyakinan tertentu adalah kekafiran, akan tetapi pelakunya tidak kafir dengan sebab adanya penghalang dari pengafiran. Hukum ini selayaknya hukum-hukum lainnya, tidak dapat sempurna kecuali jika terpenuhi sebab-sebab dan syarat-syaratnya, serta telah hilang penghalangnya, seperti dalam hukum warisan, sebabnya adalah kekerabatan -sebagai contoh-, kadang kala ia tidak dapat mewarisi, disebabkan adanya penghalang, yaitu perbedaan agama, demikian juga halnya dengan pengafiran, seorang mukmin dipaksa untuk berbuat kekafiran, maka ia tidak kafir karenanya. Seorang muslim kadang kala mengucapkan kata-kata kafir, karena hanyut oleh kegembiraannya atau karena marah, atau yang lainnya, maka dia tidak dikafirkan karenanya, karena tidak sengaja mengucapkannya, seperti dalam kisah orang yang mengatakan: “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu, dia salah (ucap) karena sangat gembira.” (HR. Muslim, pada kitab: At Taubah, Bab: “Anjuran untuk bertaubat dan gembira dengan taubat” no: 2747) Tergesa-gesa dalam mengafirkan, akan mengakibatkan banyak masalah, seperti penghalalan darah dan harta, mencegah hak warisan, pembatalan pernikahan, dan hukum-hukum lainnya bagi orang murtad. Lalu bagaimana seorang mukmin berani untuk melakukannya, hanya karena ada sedikit syubhat?! Dan apabila pengafiran itu ditujukan kepada pemerintah, maka ini lebih dahsyat akibatnya, karena akan mengakibatkan perlawanan, pemberontakan, kekacauan, pertumpahan darah, kerusakan pada masyarakat dan negeri. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk melawan pemerintah, beliau bersabda: إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم فيه من الله برهان “… kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki bukti dari Allah.” Sabda beliau: “kecuali bila kalian telah melihat kekufuran yang nyata.” memberi faedah bahwa tidak cukup sebagai alasan prasangka dan isu, dan sabda beliau “kekufuran” bahwa tidak cukup sebagai alasan, perbuatan kefasikan -walaupun besar- seperti kezaliman, minum khamar, bermain judi atau mengerjakan yang haram. Dan sabda beliau “yang nyata” bahwa tidak cukup sebagai alasan, kekafiran yang tidak jelas atau nampak. Dan sabda beliau “dan kalian memiliki bukti dari Allah” yaitu harus ada dalil yang jelas, yang shohih, berhubungan langsung dengan permasalahan, sehingga tidak cukup dengan dalil yang lemah dan tidak berhubungan langsung. Dan sabda beliau “dari Allah” menunjukkan bahwa tidak ada artinya perkataan seorang ulama’, bagaimanapun tingkat ilmu dan amanahnya, jika perkataannya itu tidak dilandasi oleh dalil yang jelas dan shohih dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan akan bahayanya perkara ini. Kesimpulannya: tergesa-gesa dalam mengafirkan sangat besar bahayanya, karena firman Allah ta’ala: قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُون “Katakanlah sesungguhnya Rabbku mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, dan permusuhan tanpa kebenaran, dan untuk kamu berbuat syirik kepada Allah yang tidak pernah diturunkan keterangan padanya, serta untuk kamu berkata atas nama Allah dengan apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A’raaf: 33) Kedua: Akibat yang dihasilkan oleh keyakinan menyeleweng ini, berupa penghalalan darah, pelecehan kehormatan, perampasan harta benda, baik milik perorangan atau umum, peledakan pemukiman dan kendaraan, pengrusakan sarana umum, seluruh perbuatan ini dan sejenisnya seluruh kaum muslimin sepakat akan keharamannya dalam syariat. Karena semuanya mengandung pengrusakan harta benda, mengganggu stabilitas keamanan, dan kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram, serta pengrusakan sarana umum, yang dibutuhkan oleh setiap orang. Islam telah melindungi harta, kehormatan, dan badan kaum muslimin, serta mengharamkan untuk dilanggar, dan sangat menekankan akan keharamannya, bahkan wasiat akhir yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu haji wada’, beliau bersabda: فإن دماءكم وأموالكم عليكم حران كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا إلى يوم تلقون ربكم ألا هل بلَّغت؟ قالوا: نعم، قال: اللهم اشهد. متفق عليه “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram di antara kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di bulan ini, dan di tempat ini,” kemudian beliau bersabda: “Apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Ya Allah saksikanlah.” (Telah lalu takhrij hadits ini) Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: كل المسلم على المسلم حرام ماله وعرضه ودمه “Setiap orang muslim diharamkan atas muslim yang lainnya, darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2564) Dan beliau juga bersabda: اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة “Hati-hatilah kalian dari kezaliman karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan di hari kiamat.” (HR. Muslim pada kitab Al Birru was Shilah, Bab: “Keharaman menzalimi seorang muslim dan meremehkannya” no: 2578) Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mengancam orang yang membunuh jiwa yang dilindungi dengan seberat-berat ancaman, Allah berfirman tentang perbuatan membunuh seorang mukmin: وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam dia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya serta melaknatnya dan Dia menyediakan baginya adzab yang pedih.” (Qs. An-Nisa’: 93) Dan Allah berfirman tentang perbuatan membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan orang muslim, yang dilakukan dengan tidak sengaja: فَإِنْ كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنُُ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ “Jika yang terbunuh itu dari orang-orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan kalian maka si pembunuh itu membayar diyah kepada keluarga yang terbunuh itu dan memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (Qs. An-nisa’: 92) Apabila seorang kafir yang memiliki perjanjian damai bila dibunuh dengan tidak sengaja, si pembunuh harus membayar diyah dan kafarohnya, maka bagaimana halnya jika dia dibunuh dengan sengaja? maka kejahatannya lebih besar dan dosanya lebih berat. Dalam hadits shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau pernah bersabda: من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan, maka dia tidak akan dapat mencium bau surga.” (HR. Bukhory pada kitab: Al Jizyah, Bab: “Dosa pembunuh orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dengan tanpa alasan” no: 3166) Ketiga: Sesungguhnya Majelis, di samping menjelaskan hukum mengafirkan manusia tanpa bukti dari Al Quran dan As Sunnah dan bahaya mengucapkan hal ini, dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, berupa kejelekan dan pengaruh buruk, Majelis juga menyatakan kepada dunia internasional, bahwa agama Islam berlepas diri dari ideologi menyeleweng ini, dan tragedi yang terjadi di sebagian negara, berupa penumpahan darah orang-orang yang tak berdosa, peledakan rumah-rumah, kendaraan, prasarana umum dan perorangan, serta pengrusakan kantor instansi pemerintahan, adalah perbuatan jahat dan islam berlepas diri darinya. Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, berlepas diri darinya dan sesungguhnya tindakan tersebut adalah perbuatan orang yang telah menyimpang pemikirannya, yang sesat akidahnya, sehingga hanya dialah yang menanggung dosa dan kejahatannya. Tindakannya tidak bisa anggap bagian dari ajaran agama Islam, dan juga tidak dapat dinisbatkan kepada kaum muslimin yang menjalankan ajaran Islam, yang berpegang dengan Al Quran dan As Sunnah. Tindakan tersebut murni sebagai tindak pengrusakan dan kejahatan yang ditentang oleh syariat islam dan fitrah. Oleh karena itu banyak dalil-dalil syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan kita dari berkawan dengan pelakunya. Allah berfirman: وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي اْلأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ “Dan di antara sebagian manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu dan dia persaksikan kepada Allah atas kebenaran isi hatinya padahal dia penentang yang sangat keras, dan apabila dia berpaling dia berjalan di atas bumi dengan membuat kerusakan di dalamnya dan membinasakan tanaman serta hewan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.” (Qs. Al Baqoroh: 204-206) Dan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, adalah saling nasihat-menasihati dengan kebenaran, bahu membahu di atas kebaikan, ketakwaan, amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara yang bijak, pelajaran yang baik, dan diskusi yang kondusif, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah sangat pedih siksaan-Nya.” (Qs. Al Maaidah: 2) Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ “Dan orang-orang beriman yang laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya, merekalah yang mendapat rahmat Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At Taubah: 71) Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: َالْعَصْرِ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر “Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Qs. Al Ashr: 1-3) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الدين النصيحة. قلنا: لمن؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم “Agama itu adalah nasihat.” Kami (para sahabat) berkata: “Untuk siapa ya Rasulullah?” beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin -secara umum-.” (Telah lalu takhrij hadits ini) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: مثل المؤنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى “Permisalan kaum mukminin dalam sikap cinta mencintai, kasih mengasihi dan persatuan mereka, bagaikan satu tubuh, jika salah satu organnya mengeluh sakit, niscaya seluruhnya turut demam dan gelisah.” (Telah lalu takhrij hadits ini). Ayat-ayat dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali. Kami mohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar menjaga seluruh kaum muslimin dari kejelekan, dan menunjukkan semua pemimpin kaum muslimin kepada setiap hal yang mendatangkan kebaikan bagi rakyat dan negara, dan semoga Allah menghancurkan kerusakan dan pelakunya. Dan semoga Allah menolong agama dan meninggikan kalimat-Nya, serta memperbaiki keadaan seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, dan menolong kebenaran dengan mereka, sesungguhnya Dialah Penolong dan Yang Kuasa atasnya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan atas Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya. Hai’ah Kibaril Ulama’ Ketua Majlis: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Anggota: 1. Muhammad bin Ibrahim bin Jubair. 2. Rasyid bin Sholeh bin Khunain. 3. Sholeh bin Muhammad Al Luhaidan. 4. Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan. 5. Abdullah bin Abdir Rahman Al Ghudaiyyan. 6. Abdullah bin Sulaiman Al Mani’. 7. Hasan bin Ja’far Al ‘Atmy. 8. Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam. 9. Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin. 10. Muhammad bin Abdillah As Subaiyyil. 11. Nashir bin Hamad Ar Rasyid. 12. Abdil Aziz bin Abdillah bin Muhammad Alus Syeikh. 13. Abdur Rahman bin Hamzah Al Marzuqy. 14. Muhammad bin Sulaiman Al Badr. 15. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alus Syeikh. 16. Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid. 17. Muhammad bin Zaid Al Sulaiman. 18. Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turky. 19. Dr. Sholeh bin Abdir Rahman Al Athram. 20. Dr. Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman. Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah Pertanyaan: Kalau demikian adanya, bagaimana cara menanggulangi permasalahan orang-orang yang ekstrem? Jawaban: Melalui pendidikan dan pembinaan dari para ulama’. Mereka, jika melihat ada seorang yang menambah dan berbuat bid’ah, maka ia menerangkan hukumnya. Misalnya: orang yang mengafirkan pelaku maksiat -dan ini adalah ajaran Khawarij, mereka adalah satu kaum yang mengafirkan orang dengan alasan maksiat- dia harus dididik agar berbuat adil (tengah-tengah), pelaku maksiat memiliki hukum sendiri, dan orang musyrik dan mubtadi’ memiliki hukum tersendiri. Mereka diajari, dibimbing menuju kebaikan, agar ia mendapatkan hidayah, memahami hukum-hukum syariat, meletakkan segala sesuatu pada posisinya. Sehingga ia tidak mendudukkan pelaku maksiat pada kursi orang kafir, tidak meletakkan orang kafir pada kedudukan pelaku maksiat. Para pelaku maksiat yang dosanya di bawah kadar syirik, seperti penzina, pencuri, penggunjing dan pengadu domba, pemakan riba, mereka memiliki hukum tersendiri, dan mereka bila mereka mati sedangkan belum bertaubat, maka mereka berada di bawah kehendak Allah. Orang yang musyrik, yang menyembah penghuni kubur, meminta tolong pada mereka, bukan kepada Allah, memiliki hukum tersendiri, yaitu ia telah kufur kepada Allah. Orang yang mencela agama atau memperolokkan ajaran Islam, ada hukumnya tersendiri, yaitu ia telah kufur kepada Allah. Manusia berbeda-beda kedudukannya, dan beragam, tidak berada pada satu tingkatan. Mereka harus didudukkan pada tempatnya masing-masing, dan diberi hukum yang sesuai, dengan dasar pengalaman dan ilmu, bukan dengan hawa nafsu maupun kebodohan, namun berdasarkan dalil-dalil syar’i, dan ini adalah tanggung jawab ulama’. Ulama berkewajiban mengarahkan umat, menunjukkan jalan bagi para generasi muda yang rawan dengan sikap ekstrem, anarki dan teledor, mereka harus dididik dan diarahkan, sebab ilmu mereka masih dangkal, mereka harus dibimbing menuju al haq. (Majmu Fatawa Wa Maqolat Mutanawwi’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8:236). -bersambung- *** Disusun oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. Artikel www.muslim.or.id inShare Fatwa Ulama92Khawarij32ustadz126 DR. MUHAMMAD ARIFIN BADERI, LC., M.A Doktor lulusan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Pendidikan S1, S2, dan S3 beliau diselesaikan di jurusan yang sama, yaitu jurusan Fikih, Fakultas Syariah. Beliau adalah pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), pengasuh milis Syariah PM-Fatwa, majalah Pengusaha Muslim, dan website PengusahaMuslim.com

PENGUASA YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH

Fatwa Ulama: Penguasa Yang Tidak Berhukum Dengan Hukum Allah 25 April 2014, 2:12 pmhukum Allah, kafir, Khawarij, pemerintah, takfir, waliyul amr Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz Soal: Penguasa yang tidak menerapkan syariat Allah di negeri Allah apakah mereka itu kafir secara mutlak padahal mereka tahu wajibnya hal tersebut? Dan apakah boleh memberontak kepada mereka? Dan apakah loyalitas mereka kepada orang kafir musyrik di negeri timur dan barat juga membuat mereka kafir? Jawab: Masalah ini dirinci oleh para ulama. Mereka (para ulama) menasehati kita agar senantiasa menunjukkan kebaikan kepada penguasa, mengajarkan mereka hal-hal yang bermanfaat untuk mereka, dan mengajak mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta untuk menegakkan syariat. Yang wajib adalah menasehati mereka, (bukan memberontak). Karena pemberontakan itu menimbulkan fitnah (musibah) dan bala serta tumpahnya darah tanpa hak. Maka hendaknya para ulama dan orang-orang shalih senantiasa menasehati para penguasa, menunjukkan mereka kebaikan, serta mengajak mereka untuk berhukum kepada syariat Allah Ta’ala. Semoga Allah memberi mereka hidayah dengan sebab itu semua. Dan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu bermacam-macam. Ada yang melakukan demikian karena menganggap bolehnya perbuatan itu. Atau ada pula yang melakukan demikian karena menganggap hukum selain hukum Allah itu lebih afdhal. Atau ada pula yang menganggap hukum selain hukum Allah itu setara dengan hukum Allah, maka yang demikian kafir. Dan terkadang juga ada berhukum dengan selain hukum Allah karena ia bermaksiat, ia melakukannya karena sebab-sebab yang banyak. Mungkin karena disogok, atau karena ia memiliki pasukan yang taat kepadanya, atau karena sebab-seba yang lain. Yang demikian ini tidak kafir. Dalam hal ini mereka semisal dengan apa yang dikatakan Ibnu Abbas : كفر دون كفر وظلم دون ظلم “kekufuran dibawah kekufuran, kezhaliman dibawah kezhaliman” Adapun jika seseorang menganggap bahwa berhukum dengan undang-undang buatan manusia itu halal atau lebih afdhal dari hukum Allah, atau meyakini bolehnya melakukan hal tersebut, maka ini termasuk perbuatan murtad dari Islam. Walaupun ia bukan seorang penguasa, yaitu ia sekedar rakyat biasa. Andaikan anda mengatakan bahwa boleh berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan maka anda bisa kafir karena sebab itu. Walaupun anda bukan seorang penguasa, walaupun anda bukan seorang pemimpin. Masalah memberontak kepada penguasa adalah masalah yang perlu ditelaah keadaannya, oleh karena itulah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان “(jangan memberontak), kecuali engkau melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa pertanggung-jawabkan kepada Allah buktinya” (HR. Al Bukhari dalam kitab Al Fitan, no. 7056) Dan ini pun jika umat memiliki kekuatan yang mampu untuk menggulingkan penguasa yang batil. Adapun pemberontakan yang dilakukan oleh individu atau orang-orang awam yang mereka ini melakukan pengrusakan bukan perbaikan maka tidak boleh hukumnya. Ini akan membahayakan masyarakat dan tidak memberikan manfaat apa pun untuk mereka. Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/46161 Melengkapi bahasan ini, baca juga: Berhukum dengan Selain Hukum Allah Belum Tentu Kafir Pemimpin-Pemimpin yang Berkata dan Beramal Tanpa Ilmu Mengapa Mudah Mengkafirkan Pemerintah? Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-ciri Khawarij (1), (2), (3), (4), (5) — Penerjemah: Yulian Purnama Artikel Muslim.Or.Id

RAKYAT YANG MABLELO (TIDAK PATUH PADA PIMPINAN)

Rakyat Yang Mbalelo 23 May 2014, 11:28 amDemonstrasi, Manhaj, pemerintah, politik, taat pemimpin, ulil amri Kata ‘mbalelo’ pernah dikenal dijaman orde baru ketika Soeharto, selaku presiden, menandai orang-orang yang tidak tunduk padanya dan ‘berani’ melawannya disebutnya sebagai mbalelo. Kata itu kemudian sering dipakai oleh banyak kalangan, bahkan secara berkelakar untuk menyebut orang yang tidak sependapat sebagai mbalelo. Saat ini kata mbalelo disematkan pada orang-orang yang tidak mau patuh pada pimpinan partai. Dalam masalah kepatuhan pada penguasa muslim atau pimpinan kenegaraan, ada memang yang punya sifat mbalelo, tak mau taat. Padahal sifat tidak mau taat pada penguasa muslim seperti ini adalah sifat orang jahiliyah. Sifat jahiliyah selalu berkonotasi negatif atau bermakna celaan. Ibnu ‘Umar berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa argumen yang membelanya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.“(HR. Muslim no. 1851). Larangan menjadi rakyat yang mbalelo termaktub dalam banyak hadits di antaranya. Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ “Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud no. 4607, Ibnu Majah no. 42 dan At Tirmidzi no. 2676, hadits Hasan Shahih) Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى “Barangsiapa mentaatiku, maka ia berarti mentaati Allah. Barangsiapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaati Allah. Barangsiapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaatiku. Barangsiapa yang tidak mentaati pemimpin berarti ia tidak mentaatiku” (HR. Bukhari no. 7137 dan Muslim no. 1835). Barangsiapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaatiku. Barangsiapa yang tidak mentaati pemimpin berarti ia tidak mentaatiku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan, عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ “Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839) Selama pemimpin tersebut muslim dan mengerjakan shalat, ia tetap wajib ditaati. Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855) Walaupun pemimpin tersebut bukan pilihan kita dan tidak kita sukai, juga tetap wajib ditaati. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِى عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ “Hendaklah engkau dengar dan taat kepada pemimpinmu baik dalam keadaan sulit maupun dalam keadaan mudah, baik dalam keadaan rela ataupun dalam keadaan tidak suka, dan saat ia lebih mengutamakan haknya daripada engkau.” (HR. Muslim no. 1836). Kenapa tetap harus taat pada pemimpin seperti itu? Karena maslahatnya lebih besar. Kaedah yang biasa disebut para ulama, الْمَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ “Kemaslahatan umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan pribadi.” (Al-Muwafaqot 6: 123 karya Asy Syathibi) Moga kita menjadi rakyat yang taat, bukan rakyat yang mbalelo. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. — Disusun di Gunungkidul di Pesantren DS, 23 Rajab 1435 H Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Muslim.Or.Id